Kemarin saya membaca tulisan maylaffayza di blog Yahoo! Isinya tentang oleh-olehnya dari Jepang. Dia habis konser di jepang desember tahun lalu. Dalam tulisannya, Mayla menggambarkan bagaimana situasi Jepang, khususnya Tokyo, yang dinilai Mayla begitu tertib, bersih dan indah.
Dari banyak poin-poinnya, saya bisa melihat, sebagian besar kekaguman penggesek biola handal ini berkisar pada kebersihan dan ketertiban kota Ueno, Tokyo. Tentang bagaimana warganya sangat tertib dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari, terutama dijalanan dan lingkungan sekitar. Tentang bagaimana mereka secara sadar menjaga kebersihan lingkungannya dengan tidak membuang sampah sembarangan dan mengolahnya sesuai dengan jenis sampah yang dihasilkan, dan masih banyak lagi, yang dalam bayangan saya, terlihat begitu luar biasa.
Saya memang belum pernah datang ke Jepang, banter-banter saya jalan ke Singapura, itupun karena jasa dari kantor yang memberangkatkan saya ke negara tetangga kita itu. Saya bisa membuktikan sendiri, bagaimana negara ini menjaga kebersihan lingkungan dan mempertahankan keasrian lingkungan ditengah gegap gempitanya pembangunan. Sepanjang perjalanan dari bandara ke hotel, saya hampir tidak melihat adanya sampah yang berceceran dijalanan. Adapun, itu daun-daun yang berguguran, dan itupun langsung dibersihkan oleh petugas kebersihan yang berada didaerah sekitarnya.
Saya takjub. Ditambah dengan cerita dari mbak Mayla, tentang bagaimana kebersihan kota Tokyo, saya jadi membayangkan dan berandai-andai, kalau Indonesia juga bisa seperti negara-negara itu, saya pasti akan sangat senang.
Tapi untuk saat ini, sepertinya bagai jauh panggang dari api. Apalagi setelah semalam, saya melihat seorang mas-mas ganteng, yang minum sebungkus Fatigon Hydro di depan indomaret sompok, membuang bungkus minumannya dengan begitu saja, tanpa merasa bersalah, dan melenggang kangkung tanpa peduli bahwa tindakannya itu tidak ada benarnya sama sekali. Apalagi di depan indomaret, bahkan disamping dia berdiri, tersedia tempat sampah yang bisa dia gunakan.
Dilain waktu, saya melihat sebuah tangan menjulur dari dalam mobil mewah seharga ratusan juta rupiah, dan dengan enaknya membuang sebuah bungkusan plastik berwarna hitam ke jalanan. Dan setelah jatuh ke jalan, tercecerlah sampah-sampah yang ada didalamnya. Ada tisu, ada kulit pisang, – mungkin juga sedikit muntahan dari sang penumpang. Aduh-aduh, kredit mobil saja bisa, mengapa beli tong sampah kecil saja tidak mampu?
Kadang-kadang saya mengelus dada dan bertanya-tanya, apa sebabnya, masyarakat kita masih banyak yang tidak sadar dan tidak peduli dengan tidak ikut berpartisipasi dalam menjaga kebersihan lingkungannya sendiri. Tempat dimana dia tinggal, tempat dimana dia hidup.
kemudian ada yang bilang bahwa semua itu memang tergantung dari tingkat pendidikan masyarakatnya sendiri. Oh, betulkan itu? lalu, apakah mungkin si pemilik mobil mewah tadi hanya lulusan SD? atau malah tidak sekolah sama sekali? sementara saya lihat, ada orang-orang yang bahkan mengaku tidak tahu bagaimana rasanya bersekolah, mampu berjuang menjaga lingkungan hidup tanpa pernah peduli dengan imbalan berupa materi. Kalau sudah begini, apakah ada hubungannya dengan pendidikan? Bahkan sejak TK saja kita sudah diajarkan untuk menjaga kebersihan dan membuang sampah pada tempat yang sudah disediakan.
Lalu kemudian, ada yang mengatakan, kalau keadaan masyarakat kita masih miskin, masih susah cari kerja, masih belum banyak uang dan jadi kaya, hal-hal seperti itu, yang berbau himbauan dan regulasi, hanya akan numpang lewat saja. Wong cari makan saja susah kok, ngurusin kebersihan lingkungan? Nanti kalau sudah kaya, kalo sudah banyak duit dan gampang cari makan, baru mau buang sampah pada tempatnya. Ya ampun, masa iya? bagaimana kalo kita kembali ke contoh orang bermobil mewah tadi? kurang apa dia?
mengatur negara kepulauan memang jauh lebih sulit daripada mengatur negara kota macam singapura. Begitu ada yang bilang. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa regulasi berjalan baik di singapura karena pemerintah dengan mudah mengontrol penduduknya yang relatif lebih sedikit dengan kondisi yang terkonsentrasi pada titik tertentu, tidak seperti di Indonesia yang tersebar dibanyak pulau dan menyulitkan untuk melakukan penyebaran informasi.
Ah, dijaman seperti sekarang ini apa yang tidak bisa dilakukan kalau bicara soal penyebaran informasi? minimalnya saja, ada televisi yang bisa digunakan untuk mensosialisasikan bahwa tindakan membuang sampah pada tempatnya itu adalah tindakan mudah, sederhana, dan bermanfaat. Lalu apa yang susah? bahkan setahu saya, suku baduy saja, yang tidak menonton TV, mampu menjaga lingkungannya agar tetap stabil, tetap asri, dan bersih. Tetap nyaman dengan segala keteraturannya.
Lalu kenapa kita tidak bisa?
Mungkin sebenarnya cuma satu, mental kita yang memang belum terbentuk dan terbiasa dengan hal-hal seperti ini. kalau boleh saya bilang, banyak dari kita yang masih sangat-sangat egois. Kalau tidak ada manfaatnya buat diri sendiri, kita tidak mau ambil pusing dan peduli. Yang penting hati senang karena buang sampah sembarangan, persetan dengan kebersihan dan peraturan. Nanti toh kalo misalnya terjadi bencana atau kerugian yang menimpa mereka, masih banyak pihak yang bisa dijadikan kambing hitam untuk disalahkan. Bukankah biasa begitu? Buang sampah sembarangan disungai, giliran sungainya tersumbat dan terjadi banjir, yang disalahin pemerintah…
ya, karena kita terbiasa begitu.
Ini semua memang tentang mental. mental kita yang sejak kecil terbiasa melihat orang tua kita (minimal) dan orang-orang di sekitar kita yang tidak bisa memberikan contoh yang baik. Dan kita akan ikut jadi seperti itu. Atau sebaliknya, orang tua kita memberikan penanaman nilai tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, kita pun akan tumbuh menjadi pribadi yang mencintai kebersihan diri dan lingkungan sekitar.
Barangkali, kondisi seperti yang digambarkan Mbak Mayla masih sebatas mimpi, tapi saya tidak ingin skeptis dan menilai bahwa kondisi seperti di jepang itu tidak mungkin bisa dicapai. Bisa saja, asalkan kita ini sadar, bahwa menjaga kebersihan dan ketertiban lingkungan itu tidak hanya untuk jangka pendek saja manfaatnya, tapi jangka panjangnya juga. Selain itu, manfaat kebersihan itu tidak hanya sebatas enak tidaknya lingkungan itu dilihat, tapi secara makro ternyata bisa memberikan dampak yang cukup positif bagi aspek lain.
Bayangkan saja, wisatawan akan senang datang ke tempat yang bersih, berjalan-jalan menikmati kota tanpa terganggu dengan sampah berserakan dan situasi yang semrawut, dan hal ini ujung-ujungnya akan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar, dan diharapkan bisa berdampak lebih luas lagi bagi negara.
Ayolah, apa sih susahnya buang sampah pada tempatnya? kalopun belum bisa mendaur ulang, setidaknya, kita ikut berpartisipasi dalam menjaga kebersihan lingkungan. Kalau kita tidak mau melakukannya untuk diri sendiri, setidaknya kita menghormati para pekerja kebersihan yang sudah susah payah bangun dipagi hari dan membersihkan jalanan kota. Masak mau kita kotori lagi? bagaimana kalo mereka itu ibu bapak Anda? tegakah anda melakukannya?
Semuanya dimulai dari lingkup yang paling minor. Diri sendiri, lalu ke keluarga, kemudian ke lingkungan teman dan sahabat, lalu ke lingkup yang lebih besar lagi, rukun tetangga, rukun warga, desa, kecamatan dan seterusnya, siapa tahu bisa meluas ke seluruh negeri.
Kalau kebersihan saja sebagian dari iman, masih banggakah kita mengaku beriman pada Tuhan, sementara kita sendiri tidak peduli dengan kebersihan?