Toekang Roempi Masih Percaya…

Hari ini, tanggal 9 April 2009, pemilihan umum untuk legislatif dilaksanakan. Mulai jam 7 pagi tadi, proses penyontrengan dilakukan hingga selesai jam 12 ini. Saya juga ikut mengantri di tps no 18, dekat dengan rumah saya. Terus terang, saya tidak begitu excited dengan pemilu ini, tapi saya tahu saya harus ikut berpartisipasi. Awalnya saya mengira saya bisa mempertahankan pendapat saya tentang kenapa saya harus golput. Saat itu saya melihat bahwa memang negeri ini sudah kacau, saya hampir tidak percaya dengan orang-orang yang mengelola negeri ini, yang alih-alih mengelola untuk rakyat, tapi malah demi kepentingan dirinya sendiri.

Ditambah dengan banyaknya pendapat dari orang-orang yang saya anggap capable untuk berbicara kenapa mereka golput, and they proudly said “bla..bla…bla…”. Seems so smart enough to say their oppinion. Padahal kalau mau ditelaah lagi, ada benarnya juga apa teman saya bilang. Bahwa golput bukan pilihan yang bijaksana, bahkan cenderung egois. Mereka bilang nanti saya mau milih kalau negeri ini sudah berubah. Mau berubah sampai yang seperti apa? Mau berubah sampai yang wakil2 rakyatnya nggak korupsi? Ya bagaimana bisa kalau kita semua golput? Dengan golput, sama saja kita melanggengkan kekuasaan yang korup. Kita tidak berpartispasi dalam perubahan yang kita inginkan.

Saya tahu, ini terlalu muluk-muluk, karena secara sadar, masih sedikit orang yang ikut pemilu atas dasar perubahan. Tidak dipungkiri masih banyak yang bingung untuk apa kita memilih, dan yang seperti ini retan disusupi oleh pihak-pihak yang mengincar kekuasaan. Tapi jangan remehkan juga suara orang-orang yang sadar seperti teman saya, yang akhirnya mempengaruhi saya juga, bahwa suara kita ini berarti untuk membuat sebuah perubahan – setidaknya kecil, daripada tidak berubah sama sekali.

Saya menelaah kenapa golput bisa digolongkan sebagai sebuah tindakan yang egois, karena begini, ketika seseorang bilang, nanti saya akan membuat perubahan kalau negeri ini sudah baik, kalau kehidupan rakyat sudah enak, kalau semuanya berubah jadi baik. Hey, come on, kita ini hidup berbangsa dan bernegara, kita hidup di indonesia, kita berharap bersama-sama membangun indonesia, kalau hanya duduk diam dan lebih memilih untuk berdiam dirumah, atau berekreasi bareng keluarga, dan tinggal menunggu hasil baiknya saja, lha kok enak? mau menikmati hasilnya tapi nggak mau ikut berusaha?

Pemilu, juga sebagai salah satu bentuk usaha dari warga sebuah bangsa dan negara. Kita-kita yang ingin sebuah perubahan, ya harus melakukan sesuatu. Bukan hanya duduk diam dan hanya melihat saja. Okelah, mungkin kita pernah merasa dikhianati oleh para wakil rakyat yang telah melukai kepercayaan kita dengan melakukan sesuatu yang justru malah menyengsarakan, tapi apakah lantas kepercayaan itu hilang lenyap begitu saja?

Ada pepatah, sekali lancung ke ujian, selamanya orang tidak akan percaya. Ya, wakil rakyat itu memang lancung pada ujiannya mengemban amanah, tapi secara pribadi, saya masih percaya  bahwa masih ada orang-orang yang pada gilirannya kali ini – jika diberi kesempatan – akan melaksanakan amanat kita, entah bagaimana caranya.

Sebuah perkembangan yang menarik terjadi sebagai bukti, bahwa sekarang, siapa saja bisa menjadi calon legislatif. Kalau dulu hanya mereka-mereka saja yang bermodal besar, tapi sekarang lihatlah, bahkan seorang pedagang es dan pengamen saja bisa mencalonkan diri. Bukankah ini angin segar dari perubahan?Jangan lantas mengatakan “ah ya, perubahan, dari seorang sarjana ke wakil rakyat penjual es, bisa apa mereka, apa nggak nanti malah lebih hancur ini negara?”

Ha-ha! just give them a chance, will ya? kalau dari sarjana bobrok, siapa tahu dari mereka-mereka ini yang memang datang dari lapisan bawah, bisa menjadi seorang calon wakil rakyat yang bagus?

Itulah kenapa saya ikut memilih pada pemilu kali ini, karena memang saya percaya bahwa sedikit harapan dan kepercayaan itu ada pada saya untuk memilih wakil-wakil rakyat melalui menyontreng partai yang saya yakin percaya bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Tidak dengan janji2 dan permainan kata-kata, tapi dengan sebuah ajakan untuk yakin bahwa kita bisa membuat perubahan.

Secara sadar saya mengakui bahwa ini adalah hak semua orang, untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak suaranya. Tapi demi melihat masih banyaknya orang yang datang berduyun-duyun ke TPS-TPS di desa saya, saya merasa cukup senang. Lepas dari apakah suara mereka sah atau tidak, atau mereka diiming-imingin sesuatu atau tidak. Ya, semuanya memang harus berjalan sedikit-demi sedikit untuk menyadari bersama bahwa pemilu adalah sebuah langkah dari sebuah bangsa menuju ke tatanan yang lebih baik lagi dimasa mendatang (semoga)-amien.

Dengan bangga saya menunjukkan bahwa saya Toekang Roempi, ikut pemilu, dan menggunakan hak suara saya…karena saya, masih percaya.

"VOTE!"

"VOTE!"

Dan saya heran, kemana hilangnya kebanggaan saya, ketika suatu hari dibeberapa waktu yang lalu saya bilang “saya mau golput, dan saya memilih untuk tidak memilih…dan saya bangga jadi golput”..saya yang sok idealis padahal sebenarnya saya kebingungan…ah, dalih itu…semuanya menguap entah kemana. Selama saya yakin saya punya pilihan yang benar, saya akan menggunakan keyakinan itu, karena satu suara sangat lah berarti.

thanks to dila, who leaved a comment in one of my post, you waked me up. And yes, we are young generation who want to make some changes in our nation, dan salah satu step kecilnya adalah menggunakan hak suara kita.

5 MINUTES for A 5 YEARS – ONE VOTE for A SMALL CHANGES!!!

XOXO,

Toekang Roempi

A Story About Honesty

Seorang wanita bernama Talon Curtis boleh jadi adalah wanita yang beruntung. Ketika suatu siang dia pulang dari sebuah kantor pos, dia menemukan selembar cek yang bernilai 357,959 dolar amerika, teronggok begitu saja di trotoar tempat dia lewat.

Semula Curtis menyangka bahwa cek itu palsu, namun ketika hendak membuangnya ke tempat sampah dia menyadari cek itu asli lengkap dengan tanda tangannya. Dan dia pun tidak percaya pada besarnya angka yang dilihatnya. Dia mengaku bahwa seumur hidupnya, Curtis tidak pernah melihat cek dengan angka sebesar itu. Dia mengaku hampir pingsan karenanya.

Segera dia mendatangi bank tempat cek itu diterbitkan dan mencari siapa yang berhak atas cek tersebut. Ternyata dia adalah seorang wanita. Curtis sempat mengobrol melalui telepon dengannya tentang bagaimana cek itu harusnya dikembalikan.

Manajer bank menyarankan Curtis untuk mengirimkannya lewat pos, tapi curtis menolaknya. Akhirnya dia bertemu dengan si pemilik cek. Curtis mengaku wanita itu hendak memberinya imbalan, tapi Curtis menolaknya. Memang dia agak sedikit menyesal, tapi dia yakin dia telah melakukan hal yang benar.

seperti motivasinya saat ingin bertemu dengan wanita itu. Curtis bilang “saya hanya ingin bertemu dengan dia dan mellihat wajahnya. saya juga ingin dia tahu, bahwa di dunia ini masih ada orang jujur”

Note from toekang roempi : memang agak susah menjadi jujur, apalagi kalau urusannya soal duit…tapi senang masih ada yang mau mengembalikan sesuatu yang bukan haknya. Apalagi dimasa resesi seperti ini. semoga wakil-wakil rakyat kita yang dipilih hari ini juga bisa menjadi wakil-wakil rakyat yang jujur, yang ogah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Hehehehe

XOXO

Toekang Roempi

Serba Serbi Spanduk Kampanye

Waaahh…yang ini didukung oleh para kyai

img_1451

 

Kalo yang ini para caleg yang mengharap dukungan dari para profesional muda

img_14521

 

Nah, kalau yang ini…(mungkin) diendorse oleh optik ternama…(jujur saya baru pertama kali melihat caleg (kiri berkaca mata hitam) yang gayanya begitu hore! kira2…what was he thinking ya? waktu bikin poster itu…? 🙂 )

img_1449

 

Yaa…yang pasti, selamat berjuang untuk meraih suara yang banyak deh…siapa tahu bisa jadi wakil rakyat “BENERAN” bukan wakil2an, yang cuma bisa datang, absen, tidur waktu rapat, dan gajian…huehehehe…

semoga saja anda2 yang terpampang diatas tidak termasuk yang begitu..

amien

PS : buat yang baca, jangan tersinggung ya? saya tidak bermaksud menghina atau melecehkan poster partai anda, karena toh ini bukan penghinaan, ini hanya sebagian tugas dari Blogger yang bernama Toekang Roempi, yang emang suka ngomentarin apa aja…hehehehe…

Peace and XOXO,

Toekang Roempi

(the photos was taken by toekang roempi with Canon A470 @ Dargo Market, copyright @ feb 2009)

Fatwa Haram Golput

Waduh! MUI mau ngeluarin fatwa haram lagi nih…gawat…jadi tambah dosa lagi dunk saya kalo melanggar fatwa?

Ffffiiuuhh…

padahal saya sedang ragu-ragu apakah pada pemilu mendatang saya akan menggunakan hak pililh saya atau tidak.

(katanya kalo ragu2 mending ga usah ya? 😛 )

Ya, intinya saya masih ragu2 sih, seragu2 banyak pihak yang menyarankan untuk tidak mengharamkan golput.

Saya sendiri tidak begitu paham kenapa golput bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang haram hukumnya?

Apakah karena golput berarti tidak mendukung pembangunan?

Apakah golput berarti melawan pemerintah?

Wah…jangan2…dimasa mendatang, orang2 yang Golput bakal kena sanksi?

Entah kapan waktunya istilah ini mulai mengemuka. Yang pasti saya dengar, istilah ini begitu populer pasca reformasi.

“Golput ah…golput ah…mending turu ning omah…enak!”

begitu orang2 dewasa didesa saya dulu bilang.

(beberapa diantara mereka malah sekarang aktif dipartai dan menganjurkan untuk tidak golput dan memilih partai mereka…hehehehe…ada maunya)

Tadi malam, adik saya juga agak rada sewot ketika menonton berita tentang fatwa haram golput, disamping fatwa haram lainnya tentang rokok (kalau yang ini dia tidak sewot 😀 ).

Dia bilang :

“Ngapain sih pake haram2an segala? Kalo ragu mending nggak usah milih  to? Wong dipilih aja akhirnya jadi amburadul begitu!”

(saya cuma tertawa kecil)

Mungkin adik saya bukan satu-satunya orang yang mengeluh dengan berkata seperti itu. Saya yakin ada banyak orang diluar sana yang senada dengan adik saya. Termasuk saya.

Dan mungkin juga anda?

Orang2 pinter bilang itu yang namanya KRISIS  KEPERCAYAAN

Ketika sebuah kepercayaan dikhianati, apalagi yang bisa diharapkan selain sakit hati?

Ketika janji2 manis tak ada satupun yang terealisasi, dan kemudian banyak orang yang merasa dijadikan komoditas untuk kepentingan segelintir orang saja, tentu saja melahirkan krisis kepercayaan seperti ini.

Siapa coba yang mau menyalahkan orang2 yang kecewa ini?

Ayo siapa berani menyalahkan kalau akhirnya mereka memilih untuk jadi golongan putih. Bukan untuk sama sekali tidak memilih, tapi menunggu untuk tidak memilih sampai kepercayaan itu kembali dengan hadirnya sosok yang memang bisa dipercaya.

Dan saya rasa tokoh2 seperti itu bukan berarti tidak ada. Saya yakin pasti ada.  Hanya saja untuk bisa membuat masyarakat percaya itu yang agak susah.

Dan saat ini bukan cuma janji promosi yang jadi unggulan, tapi bagaimana merealisasikannya dalam tindakan nyata. Dan satu lagi, wakil rakyat juga harus bersih.

Bukankah putih itu bersih.

Dan mari kita lihat Golput sebagai golongan yang menginginkan sesuatu yang bersih dalam pemerintahan Indonesia.

Saya rasa mereka bukan tidak mau bermusyawarah kok.

Memang ada benarnya ketika ada sementara pihak yang mengatakan dengan menjadi Golput berarti kita tidak membawa Indonesia ke dalam keadaan yang lebih baik. Dengan Golput kita membiarkan perubahan tidak terjadi.

Setuju.

Tapi golput juga bisa menjadi sebuah tanda yang harus dilihat oleh para tokoh2 yang berkepentingan. Dengan semakin tingginya angka masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya, semakin kuatlah indikasi bahwa mereka menginginkan para elit yang mulai harus memperbaiki dirinya untuk kemudian membangkitkan kepercayaan rakyat agar bisa benar2 ikut serta melakukan perubahan yang berarti bagi negeri ini.

Siapa sih yang tidak ingin melakukan perubahan? Siapa sih yang tidak senang akan perubahan positif yang signifikan? Apalagi ada urusannya dengan kemakmuran. Saya rasa semuanya menginginkan perubahan ini.

Lalu bagaimana dengan fatwa haram MUI ini?

Ah, kalau saya berpikir, bagaimana jika kita menggunakan hak pilih dan wakil rakyat yang kita pikir ternyata khianat, dan menyebabkan kerusakan yang lebih parah pada negara kita?

Apakah saya ikut bersalah karena sudah memilih wakil yang salah?

Haram juga nggak?

XOXO

Toekang Roempi