Kemarin saya nonton 2 film sekaligus lagi. Sebenernya sih skenarionya nggak begitu, tapi karena temen saya salah beli tiket, yang harusnya baru nonton jam 9 malam, beli yang jam jam sebelumnya, akhirnya mau nggak mau jadi marathon. Habis nonton The Legend Of Guardian : The Owl of Ga’ahoole, saya langsung nonton Resident evil after life. Semuanya diputar dalam format 3 D.
Nonton film 3 D belakangan ini memang seperti berjudi. Maju mundur maju mundur. Nonton apa engak nonton apa enggak. Gimana nggak berjudi kalo sering kali malah kecewa karena sama sekali nggak berasa apa-apa. Terakhir kali nonton The Last Airbender 3D, saya malah lebih sering nyopot kacamata 3D saya dan Whoala! Gambarnya masih bisa ditonton tanpa alat. The only 3D things is just only the translation! And I should paid more for that??? Oh,Crap!
Makanya pas mau nonton 2 film dalam format 3D ini, nggak begitu much expecting banget lah walaupun The Legend Of guardian emang bikin saya pengin nonton ini film. Soalnya pas ngeliat previewnya beberapa waktu lalu pas nonton last airbender, efek 3Dnya emang keren banget. (bukannya kalo preview trailer itu sengaja dibikin gitu yaK? Hehehe)
Tapi nih film emang keren. Ceritanya sih tipikal. Pihak baik pihak jahat. Rebutan kekuasaan, perang, pertikaian saudara, kepahlawanan, dan such a funny things among the chaos. Tapi special efeknya paten lah. Burung hantu yang emang jadi tokoh utama dalam cerita ini dibikin sehalus mungkin. Kamu bisa ngerasain gimana lembutnya bulu-bulu mereka. Bintil-bintil di daerah mata dan sekitar paruh dibikin detil banget. Gerakan-gerakan bulunya halus banget.
Mungkin bukan yang pertama kali, karena teknologi animasi belakangan ini memang digunakan secara maksimal demi menciptakan tokoh animasi mendekati real act. Tapi tetap saja saya terpukau.
Ini memang sebuah cerita dongeng. Nggak usah dipikir bagaimana seekor burung hantu bisa bikin topeng perang dengan ukir-ukiran yang luar biasa atau gimana mereka ngangkut benda yang lebih berat dari berat tubuh mereka sendiri, well it’s just only a fairy tale.
Dan ngomongin soal 3D animation, film ini cukup ngasih saya kepuasan. Beberapa unsur yang emang bisa jadi penting buat nunjukkin kerasa enggaknya efek 3D adalah cipratan air dan butiran butiran abu kecil yang berterbangan, plus juga ketika mereka terbang. It’s so jaw dropping lah.
Cuma emang rada pusing pas nonton adegan berkelahinya. Nggak tahu ini cuma masalah sayanya atau emang apanya, tapi saya nggak bisa menikmati serunya adegan perkelahian antara 2 burung hantu. Saya malah lebih suka bagian dramanya ketimbang action flicknya.
Tapi sama sekali bukan film yang buruk, mengingatkan saya pada 300. Dan ternyata memang film ini digarap oleh sutradara yang sama. Tidak mengecewakan lah.
Beda dengan film kedua yang saya tonton. Resident Evil after life 3D sama mengecewakannya dengan The Last Airbender. Sekali lagi, 3D yang teraplikasi dengan baik adalah ketika adegan dikamar mandi, dimana air muncrat kemana-mana, detailnya cukup bagus lah, plus adegan peluru berterbangan kemana-mana. Secara cerita, sangat simple dan tidak menegangkan. Zombienya juga ngga begitu ambil peran, tidak seperti 3 seri yang sebelumnya. Buat saya RE 3 : Extinction malah jauh lebih bagus. Durasi yang cuma 1 ½ jam terlalu pendek buat saya. Nggak puas. Jadi kayak cuma nonton film seri TV di AXN atau FOX. Sak crut.
Nggak puaaaaaassss… Nggak puaaaaaaasssss….
Ffuh, next project : nonton Wall Streeeeeeeetttt!!! Waiting for this movie sooooooo much!!
XOXO,
Toekang Roempi